Imam Hatim al-Ashom r.a. berkata, “Barangsiapa mengaku cinta empat hal tampa empat hal, maka pengakuan (cinta)nya itu palsu. Yaitu, mengaku cinta Allah, tapi selalu melakukan larangan-larangan-Nya; mengaku cinta Rasul tapi ia membenci kaum fakir dan miskin; mengaku cinta surga tapi ia tidak jujur; mengaku takut api neraka tapi ia tidak berhenti berbuat dosa".
Hidup kita ini seringkali diwarnai
dengan pengakuan palsu. Satu sikap yang bersumber dari ketidakjujuran
dan kekeruhan hati kita. Pengakuan palsu yang kita ungkapkan biasanya
hanya berupa kedok atau satu bentuk pelampiasan nafsu jahat kita dengan
harapan memperoleh respon positif dari orang lain.
Pengakuan palsu itu—cepat atau
lambat—sebenarnya akan menggerogoti hati hingga akhirnya hati itu
menjadi keras dan mati. Hati tidak lagi mampu memproduksi cahaya
kebenaran. Yang terjadi sebaliknya, hati menjadi sarang maksiat dan
kebohongan. Lalu, apa yang diharapkan dari hati ketika ia sudah mati?
Kematian hati berarti kematian diri kita. Sudah barang tentu kehidupan
dunia tidak lagi memiliki makna. Diri kita tinggal jasad yang kehilangan
“jiwa”.
Ironisnya, pengakuan palsu ini banyak
dilakukan oleh seorang muslim. Sumber masalahnya ada pada kedangkalan
iman dan hilangnya kesadaran untuk menerapkan ajaran agama sepenuh hati.
Minimal ada empat pengakuan palsu yang seringkali—disadari atau
tidak—dilakukan oleh seorang muslim. Yaitu, mengaku cinta Allah, tapi
selalu melanggar larangan-larangan-Nya; mengaku cinta Rasul, tapi ia
membenci kaum fakir dan miskin; mengaku cinta surga, tapi ia tidak
jujur; mengaku takut api neraka tapi ia tidak berhenti berbuat dosa.
Cinta Allah, tapi Melanggar Larangan-larangan-Nya
Mencintai Allah berarti kesungguhan
untuk mengakui dan meyakini sepenuh hati bahwa hanya Allah Tuhan Maha
Semesta Alam. Mencintai Allah tidak cukup dengan lisan, melainkan harus
keluar dari hati yang ikhlas dan diimplementasikan dalam tingkah-laku
sehari-hari. Mencintai Allah harus dibarengi dengan keikhlasan untuk
melaksanakan semua ajaran-Nya dan menghindari semua larangan-Nya.
Bukankah kita diciptakan kecuali untuk menyembah-Nya! (QS Adz-Dzariyat: 56).
Kualitas cinta kepada Allah harus
melebihi cinta kepada diri sendiri dan orang-orang di sekeliling kita.
Artinya, kita rela mencintai Allah meskipun mengandung implikasi
negatif: tidak dicintai oleh makhluk. Apa artinya cinta seorang makhluk,
kalau Allah mengabaikan kita.
Nabi saw bersabda, “Salah satu dari
doa-doa Nabi Dawud a.s. adalah, ‘Allah swt, aku mohon pada-Mu cinta-Mu
dan cinta mereka yang mencintai-Mu, dan perbuatan yang mendorongku
menuju cinta-Mu. Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih kusukai daripada
jiwaku, daripada keluargaku, dan lebih kusukai daripada air dingin.’” (HR Abu Darda’)
Menjadi kontradiktif apabila di satu
sisi kita “mati-matian” mencintai Allah, tapi di sisi lain, kita
“mati-matian” juga melanggar larangan-larangan-Nya. Ini cinta monyet
namanya. Cinta-cinta main-main yang dilandasi pamrih tertentu. Yaitu
hanya untuk meraih kepuasaan nafsu dan material belaka. Tidak lebih dari
itu. Sehingga ketika Allah memberi ujian atau musibah, dia akan
berkata, “Allah tidak lagi mencintai saya.” Lebih ironis, kalau kemudian
mengatakan, “Allah, cukup sampai di sini cintaku pada-Mu, saya akan
mencari tuhan lain yang bisa mencintai saya apa adanya.” Naudzubillah.
Terkait dengan cinta palsu kepada Allah,
di kalangan muslim familiar satu pernyataan ambivalen, “Sholat jalan
terus, maksiat jalan terus.” Bagi seorang muslim sejati, ketika beriman
kepada Allah, mestinya dia harus melaksanakan semua ajaran-Nya dan
menghindari semua larangan-Nya. Ketika melaksanakan shalat misalnya,
bagaimana shalat itu mampu mencegah kita dari berbuat mungkar. Kalau
kita masih berbuat kemungkaran, berarti kita belum sepenuh hati
mencintai Allah.
Cinta Rasul, tapi Benci Fakir Miskin
Setiap kali kita bertanya kepada umat
Rasulullah saw tentang kecintaannya kepada beliau. Sudah bisa dipastikan
100 persen jawabannya “Ya”. Tapi, coba kita bertanya kepada mereka
tentang kecintaannya kepada fakir miskin, bisa dipastikan jawabannya
“mikir-mikir dulu”, “diam” atau “benci”. Ini pertanda bahwa cinta mereka
kepada Rasulullah sesungguhnya tidak tulus dan utuh. Salah satu
indikator ketulusan cinta kepada Rasulullah adalah seberapa besar
kecintaan kita kepada kaum fakir miskin. Jangan pernah mengaku mencintai
Rasulullah kalau kita tidak mencintai fakir miskin, apalagi
membencinya.
Lihatlah bagaimana Rasulullah begitu
menyayangi dan mencintai fakir miskin. Suatu hari, misalnya, ketika
Rasulullah saw tiba di halaman masjid, seorang Arab Badui mencegat
beliau seraya berkata, “Ya Muhammad. Berikanlah padaku harta Allah yang
ada padamu”. Bagaimana sikap Nabi Mulia itu? Karena pada waktu itu Nabi
saw hanya memiliki jubah yang dipakainya, lalu dengan senyum Rasul saw
melepas jubah yang dikenakannya dan dengan tulus beliau berikan kepada
lelaki itu.
Rasulullah saw memang terkenal senang
bergaul dengan para fakir miskin. Sikap beliau itu diikuti oleh para
sahabat. Kenapa mereka bersikap demikian? Sebab, satu hadis Qudsi
mengatakan, “Carilah karunia Allah dengan mendekati orang yang dekat
dengan orang miskin. Karena pada merekalah Aku jadikan keridhaan-Ku,“
sehingga dalam satu hadis Rasulullah saw bersabda, “Segala sesuatu itu
ada kuncinya dan kunci surga itu adalah mencintai anak yatim dan
orang-orang yang miskin.” (HR Ibnu Hiban).
Dalam ayat Al-Qur’an banyak sekali perintah Allah untuk menyayangi fakir miskin, termasuk larangan menghardiknya.(QS Ad-Dhuha, 9-10, QS Al-Balad, 15-16).
Bagaimana cara menyayangi fakir miskin? Minimal kita membantu
meringankan bebannya secara material termasuk memberi perlindungan dari
bahaya yang mengancam keselamatannya. Kita harus senantiasa membesarkan
hati fakir miskin, bukan justru mengeksploitasi mereka untuk kepentingan
duniawi kita. Naudzubillah.
Rindu Surga, tapi Tidak Jujur
Masuk surga menjadi impian semua muslim.
Apalagi gambaran tentang surga yang penuh kenikmatan pasti menjadi
“magnet” tersendiri bagi kaum muslim untuk berebut memasukinya. Coba
bayangkan, mereka yang masuk surga, akan memakai kain sutera dan diberi
perhiasan dari emas dan mutiara. Mereka tidak merasa lelah dan lesuh (QS Fatir, 33 & 35). Memperoleh buah-buahan dan apa saja yang mereka inginkan (QS Yasin, 57).
Di dalam surga, mereka bersandar di atas dipan-dipan sambil meminta
buah-buahan dan minuman, di samping mereka ada bidari-bidari (QS Sad, 51-52).
Tidak merasakan teriknya matahari dan tidak merasakan dingin yang
menyengat. Dan banyak lagi suguhan dan fasilitas serba istimewa di
surga.
Tapi, seringkali impian itu hanya
angan-angan upotis belaka. Apalagi bagi mereka yang bersikap tidak jujur
selama hidupnya. Kejujuran menjadi kunci utama membuka pintu surga.
Kejujuran tidak semata-mata berupa ucapan, melainkan juga dalam bentuk
perilaku dan tindakan, baik ketika bermu’amalah maal-Lah, mu’amalah maan-nafs, mu’amalah maan-nas wal biah.
Kejujuran bisa dimaknai dalam banyak
konteks. Kejujuran dalam kata-kata misalnya, berarti mengatakan
kebenaran dalam situasi dan kondisi apa pun. Kejujuran juga berarti
memenuhi janji itu. Kejujuran juga berarti melakukan pekerjaan seseorang
setulus dan sesempurna mungkin. Kejujuran juga menyiratkan melaksanakan
tugas semaksimal mungkin apakah orang itu diawasi atau tidak.
Tentang makna kejujuran Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya kejujuran akan membawa kepada kebaikan. Kebaikan
membawa kepada surga. Seseorang tidaklah dianggap jujur hingga ia
bersikap jujur. Dan, sesungguhnya dusta akan membawa kepada kejahatan.
Kejahatan akan membawa kepada api neraka. Dan tidaklah seseorang berbuat
dusta hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Bukhori-Muslim).
Takut Api Neraka, tapi Selalu Berbuat Dosa
Mendengar kata neraka, kulit kita
merinding. Lalu terbayang, bagaimana kalau kita diceburkan ke neraka di
akhirat kelak? Pasti tubuh kita akan hancur berkeping-keping. Kita akan
dibakar di dalam api neraka. Disiksa berulang-ulang dengan tak kenal
ampun. Di neraka, kita tidak dapat merasakan hidup ataupun mati,
melainkan sesantiasa merasakan siksa yang pedih. (QS Al-Anbiya’, 98-100, QS Al-A’la, 12-13).
Ketakutan akan dimasukkan ke dalam
neraka tidak berlaku bagi orang yang selalu berbuat dosa. Mereka tidak
peduli dengan neraka, atau bahkan tidak mempercayainya. Bagi mereka,
neraka tak ubahnya tungku kecil. Tempat menanak nasi. Tidak berbahaya
apa-apa. Tapi, kenikmatan dunia adalah segalanya. Inilah surga
sesungguhnya bagi pelaku dosa.
Bagi seorang muslim, takut kepada amuk
api neraka, tapi senantiasa berbuat dosa adalah musibah. Ini yang
melanda banyak orang muslim saat ini. Iming-iming harta, tahta dan
wanita telah meruntuhkan benteng keimanan mereka. Lalu, mereka terjebak
pada jurang dosa. Mereka senantiasa menyepelekan dosa-dosa kecil.
Prinsipnya, yang penting tidak berbuat syirik: dosa yang tidak bisa
diampuni oleh Allah.
Menyepelekan dosa kecil, apalagi dosa
besar, inilah akar masalahnya. Wajar kalau kemudian ketakutan kepada
neraka hanyalah sebatas igauan belaka. Mestinya, neraka tidak perlu
ditakuti, apabila kita konsisten menjalankan ajaran agama. Dosa-dosa
itulah yang sebetulnya akan membawa kita ke neraka. Menjalankan perintah
Allah dan menghindari dosa secara ikhlas adalah jalan terbaik untuk
menghindari amuk api neraka.
Terakhir, agar kita tidak terjebak
pada “pengakuan palsu” seperti di atas, kita mesti memperbaiki pemahaman
dan penghayatan kita terhadap nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama.
Pemahaman dan penghayatan inilah yang akan melahirkan kesadaran baru
beragama kita. Yaitu bahwa menjalankan perintah Allah bukan semata
mengharap surga atau menghindari nerakanya. Lebih dari itu, mengharap
ridho dan cinta-Nya.
Prenduan, 6 Juni 2001
KH. Muhammad Idris Jauhari
Sumber: http://al-amien.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar