Oleh: KH. Muhammad Idris Jauhari
Diriwayatkan dari Ali k.w. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling saya takutkan terhadap kalian adalah menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun menuruti hawa nafsu dapat menghalangi dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan artinya sama dengan mencintai dunia.”
Diriwayatkan dari Ali k.w. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling saya takutkan terhadap kalian adalah menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun menuruti hawa nafsu dapat menghalangi dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan artinya sama dengan mencintai dunia.”
(HR Ibnu Abi-d Dunya)
Kondisi masyarakat
Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Sebagian mereka kini
terjangkiti virus menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Dua virus
yang bisa membunuh kepribadian bangsa dan menyebabkan kondisi kehidupan bangsa terus terpuruk.
Mega skandal Bank Century yang menilap
uang negara sebesar 6,7 triliun menjadi bukti konkret bagaimana virus
hawa nafsu telah menutup mata para petinggi negara ini dari kebenaran.
Apa pun alasan yang dikemukakan, terutama untuk menyelematkan ekonomi
bangsa ini. Sebenarnya hanya sekadar untuk menutup-nutupi fakta yang
sesungguhnya. Apalagi bukti-bukti faktual menyatakan adanya tindak
merugikan negara dan rakyat dalam kebijakan penyelamatan bank ini. Tapi,
kebenaran tetaplah nyata. Ia tidak bisa ditutup-tutupi dengan apa pun,
termasuk oleh para petinggi negara.
Virus lainnya yang menjangkiti bangsa
ini adalah panjang angan-angan. Mimpi menjadikan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang maju, sejahtera, dan makmur menjadi sebuah utopia
bila diukur dengan etos kerja masyarakatnya yang pemalas, mudah putus
asa dan cepat puas diri.
Masyarakat Indonesia adalah tipe
masyarakat yang hanya berpijak pada angan-angan, dan bukan pada
kreativitas sebagai landasan hidupnya. Akibatnya, bangsa ini tidak mampu
mengelola kekayaan alamnya yang luar biasa dan cenderung menjadi “tamu”
di negerinya sendiri. Lahirlah berbagai bentuk penjajahan baru,
terutama di bidang ekonomi dan kebudayaan. Tangan asing kini begitu kuat
mencengkram pundak bangsa Indonesia.
Dua virus di atas—menuruti hawa nafsu
dan panjang angan-angan—termasuk dua perkara yang paling Rasulullah
takutkan terjadi pada umatnya. Umat Islam yang diserang virus ini,
mereka akan merasa kekal selamanya di dunia. Ini sangat bahaya dan
membahayakan.
Jerat Hawa Nafsu
Hawa nafsu adalah musuh bersama. Karena
itu, memeranginya termasuk “jihad akbar” yang sangat dianjurkan bagi
setiap muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Kita baru kembali dari satu
peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar.”
Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (HR Al Baihaqi).
Kenapa hawa nafsu mesti diperangi?
Karena hawa nafsu bisa memalingkan seseorang dari kebenaran. Seorang
anggota kepala daerah misalnya, dia tidak lagi akan memperjuangkan nasib
rakyat, kalau orientasinya di pemerintahan hanya untuk mengembalikan
modal politik yang jumlahnya miliaran rupiah yang dikeluarkan selama
masa kampanye. Mustahil dia bisa mengembalikan uang itu, kecuali dengan
cara korupsi. Nafsu kekuasaan pasti akan menutupi mata batin kepala
daerah tersebut sebagai pelayan masyarakat.
Peperangan hawa nafsu adalah jenis peperangan batin. Hal ini berbeda dengan peperangan secara face to face
melawan musuh yang secara fisik nampak di depan mata. Kita bisa
menembaknya dengan mudah. Kalau nafsu itu berada di luar jasa kita dan
bisa kita pegang, mudahlah kita membunuhnya hingga mati. Tetapi nafsu
kita itu mengakar di dalam diri kita, mengalir bersama aliran darah dan
menguasai seluruh tubuh kita. Karena itu, tanpa kesadaran dan kemauan
yang sungguh-sungguh kita pasti dikalahkan untuk diperalat
sekehendaknya.
Memerangi hawa nafsu berarti memerangi
penyakit hati seperti riya’, ujub, cinta dunia, gila pangkat, gila
harta, banyak bicara, banyak makan, hasad, dengki, ego, dendam, buruk
sangka, mementingkan diri sendiri, pemarah, tamak, serakah, bakhil,
sombong dan sifat destruktif lainnya. Sifah-sifat itu melekat kuat dalam
hati.
Satu-satunya cara membersihkannya adalah
dengan memerangi sifat-sifat destruktif tersebut hingga ke
akar-akarnya. Kita perlu mencuci hati setiap detik dengan dzikrullah
tiada henti. Kalau kita malas mencucinya maka sifat-sifat itu akan
semakin kuat dan menebal pada hati kita. Pada akhirnya akan menjadi
penyakit. Sebaliknya, kalau kita mencuci setiap saat, maka hati akan
bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu itulah yang lebih jahat dari
setan. Setan tidak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di
atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah ‘highway’ atau jalan bebas hambatan untuk setan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah ‘highway’ setan untuk membunuh manusia dari dalam.
Kalau nafsu dapat diperangi, maka
tertutuplah jalan setan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita.
Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat
jahat. “Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan.” (QS Yusuf: 53)
Selain memerangi, jalan lain yang mesti
ditempuh adalah mengendalikan hawa nafsu dengan akal sehat dan hati yang
jernih. Hawa nafsu yang dikendalikan akan berubah fungsi sebagai
penggerak tingkah laku yang menyuburkan lahirnya motivasi internal yang
sangat kuat, sehingga hidup lebih bermakna dan bernilai. Dalam kondisi
demikian, hawa nafsu seperti energi yang akan selalu menggerakkan mesin
untuk tetap hidup dan dinamis. Keseimbangan itu menjadikan orang mampu
menekan dorongan hawa nafsu pada saatnya harus ditekan (seperti rem
mobil), dan memberinya hak sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.
Karenanya, keinginan menjadi bupati,
anggota DPR, orang kaya, miliader atau konglomerat dan lainnya adalah
dorongan nafsu yang wajar. Menjadi tidak wajar apabila keinginan itu
dituruti tanpa kendali moral. Nah, jika dorongan hawa nafsu dituruti
tanpa kendali moral, maka ia berubah menjadi dorongan hawa nafsu yang
bersifat destruktif. Ingin kaya dengan cara korupsi atau menipu, ingin
menjadi pejabat dengan cara menyuap. Itu semua ujungnya pasti
destruktif.
Pengabdi hawa nafsu akan menuruti apa
pun perilaku yang harus dikerjakan, betapapun itu menjijikkan. Jika
orang memanjakan hawa nafsu dapat terjerumus pada glamourism dan
hedonis, maka orang yang selalu mengikuti dorongan hawa nafsunya pasti
akan terjerumus pada kriminalitas dan kenistaan, terutama menistakan
Allah. Naudzubilâh.
Panjang Angan
Panjang angan-angan sama dengan
mencintai dunia. Orang yang terserang penyakit panjang angan-angan
senantiasa membayangkan dirinya akan abadi di dunia. Tidak ada kehidupan
yang kekal abadi, kecuali di dunia. Sikap seperti inilah yang kemudian
melahirkan manusia yang gila dunia. Dunia baginya adalah segalanya.
Tidak ada hidup tanpa dunia. Sikap seperti ini, sungguh sangat
membahayakan, terlebih bagi seorang muslim.
Panjang angan-angan akan menyebabkan
manusia berambisi memiliki sebanyak mungkin harta dan kekayaan. Tidak
peduli sumber dan caranya haram. Yang penting bisa menikmati kekayaan
itu. Kalau perlu, ia akan melakukan tindakan monopoli dan oligopoli
dengan cara menyingkirkan orang lain secara jahat dan licik.
Ciri lain orang yang panjang angan-angan adalah tidak pernah puas (qanaah)
dengan apa yang sudah dimilikinya. Apabila orang itu sudah memiliki
sepeda motor, maka ia berambisi memiliki mobil. Apabila sudah memiliki
mobil, ia ingin memiliki pesawat terbang. Begitu seterusnya.
Orang dengan karakter seperti ini,
senantiasanya menjadikan benda-benda sebagai barometer kesuksesannya.
Semakin banyak benda-benda yang dimiliki, semakin ia merasa sukses.
Padahal benda-benda itu sesungguhnya akan membuat dia pikun. Mata
hatinya buta. Semakin jauh dari Allah. Dan, Allah akan membinasakannya.
Cepat ataupun lambat.
Rasulullaah saw. bersabda, “Anak cucu
Adam itu bisa menjadi pikun, dan ada dua hal yang menyertainya, yakni
keserakahan dan angan-angan.” (HR Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: “…dan ada
dua hal bersamanya yang tetap muda, yaitu keserakahan terhadap harta
dan keserakahan terhadap usia.” Lalu, Rasulullah saw. berkata,
“Golongan pertama dari umat ini selamat karena keyakinan dan zuhud. Dan
golongan terakhir dari umat ini binasa karena kekikiran dan
angan-angan.” (HR Ibnu Abi-d Dunya).
Karena itu, tidak ada gunanya kita
mengejar angan-angan. Semakin dikejar, angan-angan itu akan semakin
menjauh, akhirnya menghilang. Mengejar angan-angan berarti mengejar
ketidakpastian. Itu sama artinya dengan menjauh dari Allah. Lebih baik,
kita habiskan hari-hari dalam rangkai perjalanan hidup yang singkat ini
untuk beribadah kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kepastian
hidup. Semakin jauh kita dari Allah, maka semakin jauh pula janji
kebahagiaan yang akan Dia berikan kepada kita, terutama setelah kita
hidup di akhirat kelak.
Suatu ketika, Rasulullaah bertanya
kepada para sahabatnya, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?” Para
sahabat menjawab, ‘Tentu yaa Rasulullaah. Beliau lalu bersabda, “Kalau
begitu jangan banyak angan-angan. Letakkan ajal kalian di depan mata.
Dan merasa malulah kepada Allah dengan sungguh-sungguh.” (HR Ibnu Abi-d Dunya)
Secara eksplisit, hadits di atas
menjelaskan tentang larangan banyak angan-angan dan senantiasa
meletakkan ajal di depan mata. Artinya, kapan pun ajal akan segera
menemui kita. Di sinilah pentingnya kita meneguhkan prinsip bahwa
sebetulnya semua benda duniawi yang kita miliki adalah titipan
Allah untuk dimanfaatkan dalam koridor kepentingan Allah dan bermuara
kepada Allah. Ketika kita bekerja di dunia, sesungguhnya kita sedang
menyiapkan diri untuk dijemput Allah. Kapan dan di manapun kita berada.
Marilah kita berdoa sebagaimana
Rasulullaah saw. berdoa, :“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dunia
yang dapat menghalangi kebajikan akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari
hidup yang dapat menghalangi dari sebaik-baik kematian, dan aku
berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang dapat menghalangi sebaik-baik
amal.” (HR Ibnu Abi-d Dunya)
Akhirnya, tidak ada pilihan lain kalau
kita mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, kecuali kita
mampu mengendalikan hawa nafsu dan mengubur angan-angan yang menipu.
Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari kesenangan hidup dunia yang penuh
tipu daya dan angan-angan belaka. Amin.
Prenduan, 31 Maret 2010
Sumber: http://al-amien.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar