Pertanyaan
Apa
itu cinta? Ulama membagi cinta dalam tiga bagian:
1. Cinta romantikal yang berarti bahwa seseorang mencintai seseorang
(lawan jenis) melebihi kecintaannya terhadap orang lain.
2. Cinta sensual bermakna seseorang mencintai seseorang lainnya
berdasarkan kebutuhan seksualnya.
3. Kondisi cinta dimana manusia mencintai seseorang lainnya berdasarkan
kebutuhan dan ketergantungan ingin tinggal bersamanya dan membentuk
ikatan rumah tangga, perumpamaan cinta seperti ini biasanya kita
saksikan pada orang-orang yang telah menikah lama. Apakah ada yang tahu
cinta manakah yang benar dalam pandangan Islam? Apakah kedua jenis cinta
(1 & 2) yang disebutkan di atas semata-mata merupakan ujian dari
Allah Swt?
Jawaban Global
Para filosof dan arif membagi cinta (isyq) dalam beberapa bagian beragam. Namun dalam sebuah klasifikasi global cinta terbagi menjadi dua bagian:
- Cinta hakiki (sejati) yaitu cinta kepada Allah Swt, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
- Cinta majasi (kiasan). Jenis cinta ini skopnya sangat luas dan dapat dikatakan bahwa cinta majasi tidak terbatas antara manusia kepada manusia lainnya saja, melainkan mencintai segala jenis orang dicintai selain Allah Swt disebut sebagai cinta majasi.
Adapun sekaitan dengan apa hukumnya cinta itu? Apa yang dapat dikatakan
dalam masalah ini adalah bahwa cinta jika ia merupakan cinta sejati dan
sebagian jenis majasinya; seperti cinta rasional dan cinta spiritual,
bukan hanya tidak tecela bahkan boleh jadi termasuk sebagai bagian dari
kesempurnaan. Namun apabila dari jenis cinta hewani yang merupakan
tingkatan terendah jenis cinta, cinta seperti ini apabila disertai
dengan kesucian dan ketakwaan serta tidak keluar dari domain kesucian
maka hal itu diperbolehkan.
Jenis cinta seperti ini datang dengan cepat dan juga pergi dengan
cepat. Cinta seperti ini tidak dapat diandalkan. Membunuh kemuliaan
manusia. Hanya dengan bantuan menjaga kesucian (ifaf),
ketakwaan dan tidak tunduk di hadapan orang-orang yang mendapatkan
keuntungan darinya; yaiatu tatkala terjadi perpisahan dan tidak bersua
satu sama lain, dan kesucian dari sisi lain, maka segala duka dan
nestapa, pelbagai tekanan dan kesusahan yang menguasai jiwa seorang
pecinta akan menjadi ringan tatkala disertai dengan kesucian dan
ketakwaan.
Para arif dalam
hal ini berkata, “Cinta majasi dapat menjelma menjadi cinta hakiki;
artinya cinta mengarah kepada Allah Swt dan manusia dapat mengambil
keuntungan dari kecintaan seperti ini. Di samping itu, memiliki banyak
pengaruh dan manfaat seperti cinta kepada manusia memberikan energi,
daya dan kekuatan serta menghilangkan ketakutan kemudian memberikan
manusia keberanian dan keprawiraan. Cinta akan mencetak manusia bakhil
menjadi manusia dermawan. Cinta menyempurnakan jiwa dan pelbagai potensi
menakjubkan dan bakat terpendam akan bersemi dengan cinta.
Cinta adalah penyuling dan akan menyuling segala noda yang terdapat dalam jiwa manusia menjadi suci.
Karena itu, cinta apabila ia merupakan cinta sejati (hakiki) tentu saja
merupakan suatu hal yang terpuji dan apabila merupakan cinta majasi,
dengan syarat disertai dengan ketakwaan dan kesucian, maka tentu cinta
seperti ini bukan cinta yang tercela.
Jawaban Detil
Redaksi kata “isyq” didefenisikan dalam kamus-kamus Irfan dan Filsafat sebagai berikut:
Isyq adalah cinta ekstrem dan kecendrungan hebat terhadap sesuatu. Isyq derivasinya dari kata ‘a-sya-qa-h
yang merupakan sebuah tumbuhan yang melilit setiap pohon kemudian
mengeringkannya dan ia tetap tinggal dengan baunya yang semerbak. Karena
itu, setiap cinta yang bersemi pada setiap manusia hanya akan
mengeringkan sosok yang dicintainya dan melenyapkannya. Ia akan
melemahkan badan dan mencahayai ruh dan jiwa.[1]
Isyq dan mahabbah merupakan kondisi terpenting dan salah satu kondisi
tertinggi manusia arif dan tergolong salah satu fondasi dan prinsip
penting dalam dunia Irfan. Dalam padangan Irfan, cinta adalah anugerah
Ilahi dan pemberian Tuhan bukan hasil kreasi manusia kendati
pendahuluan-pendahuluan cinta harus diperoleh.[2]
Syaikh al-Rais (Ibnu Sina) memandang isyq sebagai sebab adanya seluruh
keberadaan dan meyakini cinta adalah anugerah yang tidak terkhusus pada
manusia dan seluruh entitas pernah merasakan cinta.[3]
Mulla Sadra juga menilai bahwa cinta merupakan sebuah realitas yang
mengalir dan berputar pada setiap entitas dan meyakini bahwa tiada satu
pun entitas yang tidak pernah merasakan cinta.”[4]
Para arif dan filosof mengklasifikasi cinta menjadi beberapa bagian. Namun dalam satu klasifikasi global cinta (isyq) terdiri dari dua bagian:
- Cinta sejati: Cinta sejati yaitu cinta kepada Allah Swt, segala sifat dan perbuatannya. Cinta murni dan sejati kepada Allah Swt disebut sebagai cinta tatkala tidak ada tamak terhadap surga atau takut terhadap neraka, melainkan cinta semata-mata gambaran keindahan dan kesempurnaan pada Allah Swt. Kesempurnaan cinta kepada Allah Swt adalah bahwa seluruh hati bergantung sepenuhnya kepada Allah Swt dan jiwa suci dari segala kecendrungan selain Allah Swt.
- Cinta majasi: Cinta majasi skopnya sangat luas dan dapat dikatakan bahwa cinta majasi tidak terbatas antara manusia kepada manusia lainnya saja, melainkan mencintai segala jenis orang dicintai selain Allah Swt disebut sebagai cinta majas. Cinta majasi menjadi beragam dengan keragaman sosok yang dicintai. Seperti cinta manusia pada pemandangan-pemandangan indah, cinta kepada istri dan anak, cinta kepada harta dan kekayaan, cinta kepada keindahan dan kerupawanan, cinta kepada popularitas dan lain sebagainya. Karena itu, cinta majasi merupakan ragam jenis kecintaan manusia terhadap sesuatu yang terdapat di sekellilingnya; artinya pecinta senantiasa manusia namun sosok yang dicintai tidak mesti harus manusia.
Berikut ini kami akan menjelaskan secara ringkas beberapa bagian cinta majasi:
- Cinta rasional: Cinta rasional dalam terma filsafat adalah cinta yang sumbernya adalah perhatian kepada Zat Allah Swt dan terkhusus orang-orang yang dekat di sisi-Nya. CInta rasional muncul buah dari perjalanan akal universal pada jiwa rasional di alam malakut, dari lapisan-lapisan penyaksian jabarut.
Cinta rasional terkait dengan kesempunaan dan kebaikan maknawi
(terhadap para wali Allah dan pelbagai kemuliaannya yang bersambung
dengan alam jabarut dan di atasnya). Sumber kecintaan terhadap
kesempurnaan mutlak dan keindahan murni serta pelbagai manifestasinya
yang bersemayam di hati dan kalbu berhubungan dengan para wali Allah dan
ahli makrifat.[5]
- Cinta spiritual: terhadap sosok yang mutlak indah (baik dari bentuk lahir yang berautan dengan apa yang dilihat atau apa yang didengar dan menjadi sumber kecintaan terhadap kesempurnaan dan keindahan yang senantiasa disertai dengan kelezatan rasional. Dalam jenis cinta ini, pecinta (‘âsyiq) mencintai sosok yang dicintai (ma’syûq) karena keindahan dan kesempurnaan yang dimilikinya, bukan demi keuntungannya. Jenis cinta ini terkhusus pada orang-orang tertentu saja.
- Cinta natural insaniah: Cinta kepada keindahan bentuk dan rupa orang yang dicintai (terlepas dari adanya kecendrungan sensual) demi keseimbangan dan kebaikan serta rangkapan keindahan padanya.
Ibnu Sina berkata, “Cinta seperti ini terbatas pada manusia dan tidak
dapat ditemukan pada dunia hewan. Ia melanjutkan, “Kecendrungan jiwa
terhadap keindahan eksoterik di antaranya wajah yang rupawan dapat
diperoleh melalui dua jalan: Pertama: melalui jalan hewani. Kedua
melalui jalan rasional.” Sehubungan dengan cinta natural-rasional
(kejiwaan), Ibnu Sina berkata, “Pecinta (‘âsyiq) mencintai sosok yang dicintai (ma’syûq)
karena bentuk yang indah dan rupawan karena dorongan rasional terhadap
keseimbangan dan ekuilibrumnya orang yang dicintai. Jenis cinta ini yang
tidak dihinggapi oleh sifat-sifat hewani merupakan media untuk
menanjak, meninggi dan menyempurna.[6]
Sumber cinta seperti ini adalah fitrah kecintaan terhadap keindahan
yang tertanam dalam diri manusia dan bertautan dengan fakultas pencerap
keindahan jiwa manusia dan afeksinya. Cinta kepada keindahan lahir ma’syuq (yang dicinta) adalah sosok yang diinginkan oleh asyiq (pecinta).
Naraqi dalam Mi’râj al-Sa’âdah
berkata, “Cinta tidak akan pernah diperoleh kecuali melalui sebab dan
mengingat bahwa untuk cinta terdapat banyak dan ragam sebab, karena itu
cinta juga terbagi menjadi beberapa bagian.” Menurut Naraqi, salah satu
bagian cinta adalah cinta terhadap wajah-wajah cantik nan rupawan.”
Naraqi berkata, “Jangan berpikir bahwa kecintaan terhadap wajah-wajah
cantik hanya karena ingin mendapatkan kelezatan sensual, melainkan
merupakan pencerapan jiwa terhadap kesempurnaan dan keindahan karena
esensinya dan tanpa memperhatikan masalah-masalah kelezatan lainnya;
kelezatan spiritual yang secara otomatis menjadi obyek kecintaan. Dan
karena itu, terkadang manusia mencintai segala yang hijau dan air
mengalir, bukan karena ingin memakan hijau-hijauan dan meminum airnya,
atau selain melihat ia memperoleh manfaat lainnya.” Naraqi mengimbuhkan,
“Rasulullah Saw tatkala melihat air dan hijau-hijauan, (hal itu)
memberikan rasa takjub dan keceriaan pada beliau.” Dan siapa yang
memiliki jiwa yang sehat akan merasakan kelezatan tatkala melihat
sekuntum bunga, hijau-hijauan dan lain sebagainya dan mencintainya,
bahkan boleh jadi akan meringankan gundah gulana yang dimilikinya.[7]
- Cinta natural hewaniah: Cinta natural hewaniah (wadhi’) sebagai lawan dari cinta ‘afif yang tujuan utamanya adalah pelampiasan syahwat hewaniah.[8] Syaikh Rais sehubungan dengan jenis cinta seperti ini berkata, “Dalam cinta jenis ini, paras cantik disukai karena adanya kelezatan hewaniah di dalamnya. Cinta seperti ini membahayakan jiwa rasional manusia; karena tuntutan jiwa rasional (nafs natiqah) mengurusi hal-hal universal dan posisi universal juga adalah keabadian dan menyeluruh. Karena itu, jenis cinta seperti ini layak mendapat celaan dan cemooh dari jiwa rasional.[9]
Ustad Muthahhari juga terkait dengan cinta seperti ini berkata, “Jenis
cinta-cinta seperti ini akan datang secepat kilat dan pergi secepat
kilat. Cinta seperti ini tidak dapat diandalkan dan tidak mendapat
anjuran karena akan membunuh kemuliaan dan keutamaan. Hanya dengan
bantuan kesucian (ifaf), ketakwaan dan tidak tunduk di hadapannya maka
orang-orang mendapatkan manfaat darinya”;[10]
artinya dari satu sisi, tatkala terjadi perpisahan dan tidak bersua
satu sama lain, dan kesucian dari sisi lain, maka segala duka dan
nestapa, pelbagai tekanan dan kesusahan yang menguasai jiwa seorang
pecinta akan menjadi ringan tatkala disertai dengan kesucian dan
ketakwaan.
Para arif dalam
hal ini berkata, “Cinta majasi (seperti ini) dapat menjelma menjadi
cinta hakiki; artinya tatkala cinta mengarah kepada Allah Swt dan
manusia dapat mengambil keuntungan dari kecintaan seperti ini.”[11]
Cinta hewani terkait dengan segala jenis yang mendatangkan kelezatan
dan kepuasan seperti makanan-makanan. Sumber insting dan kecendrungan
seperti ini berkaitan dengan nafs ammarah manusia. Dalam cinta ini, antara pecinta dan yang dicinta masing-masing ingin memperoleh keuntungan timbal-balik.
Adapun yang terkait apa hukumnya cinta sejenis ini? Filosof berbeda
pendapat dalam masalah ini. Apakah jenis cinta seperti ini termasuk
cinta yang baik dan patut mendapat pujian, atau buruk dan tercela
sebagaimana sebagian filosof mencelanya dan sebagian lainnya memujinya.
Mulla Sadra berkata, “Jenis cinta ini yang tujuannya adalah untuk
memperoleh kenikmatan atas kecantikan dan kecintaan ekstrem terhadapnya
dapat dijumpai pada kebanyakan orang meski sumber kecintaan ini adalah
Ilahi yang mengikut pada masâlih dan mafâsid
hukum khusus. Dalam sudut pandang ini, cinta hewani adalah baik dan
terpuji. Jenis cinta ini kebanyakan menjadi sumber munculnya kemakmuran
dan pembangunan. Ia berkata, “Cinta kepada kecantikan dan keindahan adalah sumber motivasi orang menikah dan pada akhirnya kelestarian keturunan.
Karan itu, cinta natural hewani yang merupakan derajat cinta terendah
dan tujuan utamanya adalah pelampiasan syahwat hewani, meski dari sudut
pandang sebagaian arif dan filosof telah mendapat celaan, namun apabila
disertai dengan ketakwaan dan kesucian, manusia dapat mengambil
keuntungan darinya. Apabila tidak melanggar batasan syariat cinta
seperti ini tentu saja akan mendatangkan manfaat bagi manusia; karena
menurut Mulla Sadra cinta seperti ini menjadi dasar manusia ingin
menikah dan melanjutkan keturunannya dan seterusnya.
Mulla Sadra adalah di antara filosof dan arif yang membagi dua jenis
kecintaan: cinta hakiki atau majasi. Cinta hakiki adalah cinta kepada
Allah, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Cinta majasi sendiri terdiri
dari dua bagian, cinta nafsani dan cinta hewani.
Mulla Sadra meyakini bahwa seluruh entitas di alam semesta dengan
perantara cinta hakiki cinta kepada Allah Swt dan berharap bersua
dengan-Nya dan Allah Swt telah menempatkan cinta khusus ini pada seluruh
entitas alam semesta.[12]
Pengaruh Umum Cinta
Tentu saja cinta sejati memiliki pengaruh dan keberkahan yang sangat
banyak yang tentu berbeda dengan pengaruh dan keberkahan yang didapatkan
pada cinta majasi. Namun sebagian pengaruh dan tipologi antara cinta
hakiki dan cinta majasi bersifat common. Artinya bahwa cinta,
terlepas dari apa pun jenisnya, hakiki atau majasi, atau majasi nafsani
atau majasi hewani, dan terlepas siapa obyek kecintaannya, memilik
sejumlah manfaat dan pengaruh positif. Misalnya:
- Melenyapkan egoisme, indiviualisme dan kesombongan pada manusia pecinta.
- Melahirkan energi dan kekuatan.
- Melalaikan segala cela dan aib sosok yang dicintai dan menampakkan hanya keindahannya saja.
- Melenyapkan ketakutan pada diri seorang pecinta dan menumbuhkan keberanian dan kelancangan.
- Menciptakan kekuatan untuk memberi dan berderma pada seorang manusia kikir.
- Menyempurnakan jiwa dan berseminya pelbagai potensi yang menakjubkan secara esoterik dan eksoterik ketika kuntum cinta bermekaran.
Kesimpulannya apa yang dapat dipetik dari untaian tuturan para arif dan
filosof dalam masalah cinta adalah bahwa cinta apabila merupakan jenis
hakiki dan sebagian cinta majasi; seperti cinta rasional dan cinta
spiritual, bukan hanya tidak tercela bahkan boleh jadi termasuk
tangga-tangga menuju kesempurnaan. Namun apabila cinta merupakan jenis
cinta hewani yang merupakan derajat terendah jenis cinta, maka hal ini
tidak bermasalah apabila disertai dengan ketakwaan dan kesucian dan
tidak keluar dari batasan kesucian. [iQuest]
[1]. Muhamma A’la bin Ali, Kasyyâf Ishthilahât al-Funûn, jil. 2, hal. 1012; Sayid Ja’far Sajjadi, Farhang Ishthilahât wa Ta’bir ‘Irfâni, klasul ‘i-sy-q; Sayid Ja’far Sajjadi, Farhanggi ‘Ulum ‘Aqli, hal. 357.
[2]. Atthar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyâh, hal. 328.
[3]. Ibnu Sina, al-Rasâil, hal. 375.
[4]. Mullah Sadra, al-Hikmah al-Muta’âliyah, jil. 7, hal. 149.
[5]. Sa’id Rahimiyan, Hubb wa Maqâm Mahabat dar Hikmat wa ‘Irfân Nazhari, hal. 152.
[6]. Ibnu Sina, Risalah ‘Isyq, nukilan dari Hubb wa Maqâm Mahabat dar Hikmat wa ‘Irfân Nazhari, hal. 139 dan 140.
[7]. Mullah Ahmad Naraqi, Mi’râj al-Sa’âdah, hal. 529.
[8]. Sayid Ja’far Sajjadi, Farhanggi ‘Ulum ‘Aqli, hal. 139-140.
[9]. Ibnu Sina, Risâlah ‘Isyq, nukilan dari Hubb wa Maqâm Mahabat dar Hikmat wa ‘Irfân Nazhari, hal. 140 dan 141.
[10]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Atsar, jil. 16, hal. 251.
[11]. Ibid.
[12]. Sayid Ja’far Sajjadi, Mushthalahât Falsafi Shadruddin Syirâzi, hal. 153-155.
Sumber: http://www.islamquest.net
0 komentar:
Posting Komentar