This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cara Berhenti Langganan Paket XL (Internet, Nelpon, SMS)

Berikut cara untuk keluar dari paket XL.
1. Tekan *123# dari ponsel Anda.
2. Pilih MyInfo.
3. Pilih Stop Berlangganan.
Jika cara tersebut diatas gagal, coba hubungi call center operator seluler XL baik via telpon, email, atau akun sosial media.

Cara Membuat Commens Fb di Blog

9 Cara Membuat Suami Makin Sayang Istri: Layak Dicoba!

Awal pernikahan adalah saat di mana semua terasa indah dan menyenangkan. Saat sikap dan sifat pasangan berubah, kita jadi merasa tertipu bahkan menyesal telah menikah dengannya. Perasaan seperti ini biasa dialami wanita saat merasa suami tidak mencintainya seperti dulu. Cobalah praktekkan 9 Cara Membuat Suami Makin Sayang Istri sebagaimana dilansir Womanatics berikut dan tunggu perubahan sikapnya.
Cara Membuat Suami Makin Sayang Istri yang Layak Dicoba

9 Cara Membuat Suami Makin Sayang Istri

Buang Jauh-Jauh Keinginan Membuatnya Cemburu
Tak sedikit yang menyarankan untuk membuat suami cemburu agar kembali jatuh cinta. Dalam beberapa kasus mungkin bisa berhasil. Namun perlu diketahui bahwa dekat dengan pria lain untuk membuatnya cemburu itu artinya Anda sedang pamer sikap romantis yang Anda dapatkan dari pria lain.
Atau Anda memang masih bisa GR mendapati orang lain memuji Anda? Hati-hati, tidak semua pria senang merasa terancam. Salah satu alasan mereka menikahi Anda adalah untuk memiliki rasa nyaman karena seutuhnya Anda menjadi miliknya. Jika sesudah menikah suami masih harus berebut dengan orang lain, ini bisa menjadi membuat rasa dan kepercayaannya pada Anda terkikis.
Menjadi Sosok yang Lembut
Setinggi apapun jabatan Anda, sekeras apapun pekerjaan Anda, bagi pria, wanita adalah simbol kelembutan, kebaikan, cinta, dan kasih sayang. Bersikaplah lembut padanya, pada anak-anak, pembantu, juga pada diri sendiri. Jangan terbiasa bersikap kasar dan menyakiti orang lain, siapapun itu.
Bersikap Baik pada Keluarga dan Orang-Orang di Sekitarnya
Sebagaimana kita mencintai keluarga dan orang-orang di sekitar kita, lakukan hal yang sama pada keluarga dan orang-orang disekitar suami. Bagi pria, orang tua, saudara, dan teman-teman adalah tanggung jawab mereka.
Saat Anda masuk ke keluarganya ia tetaplah sama, seorang anak, saudara, dan sahabat. Hanya kini perannya bertambah menjadi seorang suami dan ayah. Jadi, bersikap baiklah pada keluarga dan teman-temannya.
Menjadi Pilar Kekuatan Baginya
Wanita menyukai  pria yang memiliki kekuatan dan berkuasa. Itu membuat kita merasa nyaman dan aman untuk bersandar di pundaknya. Pria tidaklah berbeda. Mereka juga menyukai wanita yang kuat secara fisik, moral, dan sosial. Kuat bukan berarti mudah marah dan memiliki sikap yang kasar. Namun kita harus cukup kuat untuk mendukungnya kapanpun dia membutuhkan.
Dalam masa sulit sekalipun, kita harus tetap bisa menjalankan peran sebagai istri dan ibu dengan baik. Terpenting, kuat untuk membelanya di depan umum, bagaimanapun sulitnya keadaan di rumah.
Buat Dia Merasa Dicintai dan Diinginkan
Siapa yang tak ingin dicintai dan diapresiasi oleh orang yang dicintainya? Bagi wanita, sekritis apapun keadaan, terpenting suami tetap mencintai Anda bukan? Pria juga tidak berbeda. Penting pula bagi mereka untuk selalu merasa dicintai. Jika perlu, ungkapkan betapa Anda sangat mencintainya.
Percaya Bahwa Ia Mencintai Anda
Walaupun sangat mencintai wanitanya, seringkali pria tidak mau terlalu sering mengungkapkan. Jadi jangan heran dan cemas jika 100 kata cinta Anda hanya dibalas sekali saja oleh mereka.
Secara alami wanita memang mudah mengekpresikan perasaannya. Sementara pria, banyak dari mereka yang khawatir jika mengucapkan kata cinta akan membuat mereka terlihat cengeng dan tidak jantan (He he… Kasihan ya Bund, cowok tidak bisa bebas berekspresi :D).
Jadi Sumber Inspirasi
Pria akan sangat menghargai wanita yang bisa menjadi sumber inspirasi baginya. Inspirasi ini bisa semacam alasan yang membuatnya menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk, berbuat lebih baik, bersikap lebih baik, dan menjadi manusia yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Setia
Saat pria selingkuh, wanita lebih mudah memaafkan. Namun saat wanita selingkuh, ego dan harga diri seorang pria terluka sehingga mereka jadi lebih sulit memaafkan.
Saat melintas godaan untuk berselingkuh, salah satu tips jitu untuk mempertahankan kesetiaan adalah mengingat akibat yang ditimbulkan. Anak menjadi korban, rumah tangga berantakan, orang di sekitar memiliki penilaian buruk, orang tua kecewa, bahkan mungkin Anda bisa kehilangan pekerjaan. Cobalah beberapa beberapa tips untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Dan bagi Anda yang pernah selingkuh dan suami memaafkan, bersyukurlah dengan berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan berbuat kesalahan yang sama. Jika kita berani bermain api, bukan hanya diri sendiri yang terbakar, orang-orang yang menyayagi dan kita sayangipun dapat ikut terluka.
Menjadi Orang Kepercayaannya
Pria tidak biasa terlihat lemah di depan orang lain. Mereka tidak suka dikasihani dan terlihat nelangsa. Itulah sebabnya pria akan mencari sahabat/pasangan yang mau memahami mereka tanpa membuatnya kehilangan kepercayaan diri.
Jika suami rela membagi kesulitannya pada Anda, itu artinya ia yakin telah menemukan pasangan yang bisa menjadi tempat berbagi. Jaga rahasia (termasuk kelemahannya) dan hargai apa yang dilakukan. Saat menemukan pasangan yang bisa membuatnya nyaman, pria bahkan rela jungkir balik melakukan apapun untuk Anda.
Poin terakhir ini sangatlah penting. Istri memang harus menjadi orang yang paling dipercayai oleh suami. Suami harus mudah dan nyaman mendiskusikan kelemahan, kegagalan, dan ketidakmampuannya senyaman saat ia membicarakan kelebihan, kesuksesan, dan kemampuannya.
9 cara membuat suami makin sayang istri di atas kelihatannya sangat mudah. Bagi yang terbiasa bersikap lembut dan penyayang memang tidaklah sulit. Bagi yang belum terbiasa, jangan khawatir. Asal mau mencoba, biasanya kita akan terbiasa dan tanpa sadar sudah bisa melakukan tips-tips di atas tanpa merasa kesulitan.


Sumber: http://bunda.co/9-cara-membuat-suami-makin-sayang-istri-layak-dicoba/694/



3 Cara Menjaga Hubungan Suami Istri Agar Tetap Harmonis

Pengetahuan seputar cara menjaga hubungan suami istri agar tetap harmonis menjadi penting mengingat banyak pasangan mengeluhkan pernikahan yang mulai hambar. Mereka yang baru menikah sekalipun bisa mengalaminya. Di sisi lain kedua pasangan tidak ingin mengakhiri hubungan karena berbagai alasan; sudah nyaman, merasa pasangannya baik, atau kasihan pada anak.
3 Cara Menjaga Hubungan Suami Istri Agar Tetap Harmonis
Kasus seperti ini bisa dibilang masa uji coba pernikahan. Dan seringkali, kasus perselingkuhan terjadi ketika rasa bosan hinggap. Jika tak diatasi dengan serius, kebosanan dapat menciptakan ruang kosong yang kemudian terisi orang lain.
Beberapa pasangan yang berhasil melalui ujian ini memiliki cara yang berbeda. Beberapa dari mereka yang Saya lihat harmonis -bahkan hingga puluhan tahun- berbagi pengalaman. Berikut tips menjaga keharmonisan hubungan suami istri yang mereka beberkan.
1. Komunikasi
Membahas pendidikan anak atau seputar cara agar dapur tetap mengepul adalah hal biasa bagi pasangan. Namun menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol hal-hal seru dan menyenangkan dan tertawa bersama adalah hal sederhana namun terasa sangat istimwa.
2. Learning Couple
Temukan hal-hal baru dari pasangan setiap hari. Terlihat sederhana memang, namun akan memberikan ruang satu sama lain untuk menyesuaikan diri. Kedua pasangan sebaiknya sama-sama melakukannya dengan tujuan untuk membahagiakan pasangan. Tipsnya, jangan merasa seperti mengetahui “SEMUA” hal tentang pasangan. Ingat bahwa Anda dan pasangan adalah dua pribadi yang berbeda.
3. Try Something New
Rutinitas menghadirkan kejenuhan dan kebosanan. Bahkan, dalam pernikahan yang dimulai dengan cinta yang begitu besar sekalipun, dua monster ini bisa hadir dan mengancam. Cobalah lakukan hal-hal menantang bersama pasangan dengan keluar dari zona nyaman.
Atau bisa juga mengambil cuti dan berlibur bersama. Hanya berdua. Ya! Hanya berdua. Jika memang memungkinkan meninggalkan anak-anak bersama nenek atau pengasuhnya untuk beberapa hari, why not?!
Suasana baru seperti perintah “refresh” pada PC yang setelahnya akan membuat hubungan menjadi kembali segar dan menggairahkan.
Eksploitasi dalam aktivitas seksual juga bisa dilakukan seperti mencoba berbagai gaya atau melakukan aksi-aksi di waktu dan tempat yang beresiko ketahuan. Ini akan memacu adrenalin namun sangat seru dan menyenangkan.
Tiga cara menjaga hubungan suami istri agar tetap harmonis ini adalah tips jitu yang dibeberkan oleh beberapa pasangan yang berhasil menjaga kehangatan rumah tangga meski sudah menikah puluhan tahun. Hmmm… Rasanya layak untuk dicoba.


Sumber  http://bunda.co/cara-menjaga-hubungan-suami-istri-agar-tetap-harmonis/654/

Menjadi Pengusaha Super Sukses

Menjadi wirausaha sukses adalah salah satu alternatif dalam menjemput rezeki. Sayangnya masih sedikit sekali yang berminat menekuninya. Dibanding Singapura atau negara tetangga Asean lainnya, persentase pebisnis di Indonesia masih sedikit. Bekerja atau menjadi karyawan masih menjadi pilihan nomor satu.
Kenapa? Salah satu penyebabnya ialah banyak yang mengatakan bahwa berwirausaha itu tidak mudah dan resiko yang tinggi. “Saya tidak bisa bisnis.” Ini adalah kalimat yang begitu akrab terdengar saat kita sedang berbicara bisnis. Tentu saja selain: “Saya tidak punya modal.”

Mengapa Menjadi Wirausaha Sukses Sepertinya Sulit?

Jika kita bekerja, pekerjaan kita sehari-hari akan fokus sesuai dengan jabatan kita. Sebagai contoh: jika Anda berada di departemen pemasaran, maka pekerjaan Anda fokus pada pekerjaan yang berkaitan dengan pemasaran. Berbeda dengan bisnis, semua pekerjaan harus kita tangani mulai dari pengadaan produk, pemasaran, keuangan, dan sebagainya. Sehingga bisnis terlihat begitu sulit. Ini adalah anggapan keliru.
Anggapan ini disebabkan oleh pemikiran: semuanya harus dilakukan sendiri. Mari kita belajar kepada Henry Ford, dia bukan ahli dalam pembuatan mobil. Tetapi dia mampu memproduksi mobil yang berkualitas dan dalam jumlah banyak. Kunci menjadi wirausaha sukses adalah: tidak mengerjakan semuanya sendiri.

Langkah-langkah menjadi wirausaha sukses adalah:


  1. Miliki pengetahuan yang cukup tentang bisnis Anda. Meski Anda harus mengerjakan sendiri, tetapi Anda perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang bisnis Anda. Pertama pengetahuan tentang bagaimana menjalankan bisnis dan yang kedua pengetahuan tentang produk atau jasa yang akan Anda sediakan.

  2. Siapkan atau rancang sebuah sistem untuk menjalankan bisnis ini. Rancanglah sistem bagaimana menjalankan bisnis dengan benar dan bisnis bisa berjalan meski tanpa kehadiran Anda.

  3. Temukan orang untuk menjalankan sistem ini. Jika sistem sudah Anda desain dengan baik, Anda akan tahu orang seperti apa, memiliki keterampilan apa, dan seberapa banyak agar sistem berjalan dengan baik.

  4. Pastikan agar sistem berjalan dengan baik. Karena Anda adalah pemilik bisnis, maka Andalah yang bertanggung jawab jalan atau tidaknya sebuah sistem. Kemampuan Anda dalam memimpin orang-orang dalam bisnis Anda akan berperan besar disini.
Jadi Anda tidak perlu bisa segalanya. Tidak perlu melakukan segalanya. Yang penting adalah memiliki ide, merancang sistem, merekrut orang, dan kepemimpimpinan. Tidak bisa merancang sistem? Jangan khawatir, Anda pun bisa membayar orang (salah satunya saya) untuk merancang sistem Anda. Anda pun bisa membayar orang untuk masalah perekrutan dan pengelolaan SDM (yang ini bukan bidang saya).
Pada ujungnya, dua kemampuan yang perlu Anda miliki:  menghasilkan ide dan kepemimpinan. Kabar baik lagi: keduanya bisa dipelajari dan dilatih. Artinya: menjadi wirausaha sukses adalah bisa dilakukan oleh semua orang.

Beberapa faktor atau kondisi yang mendorong  semakin produktifnya pikiran bawah sadar, yaitu :
1. Sikap ragu-ragu.
2. Sikap berani.
3. Bermacam-macam pengalaman, memori dan ketertarikan.
4. Persiapan yang sempurna dan sungguh-sungguh.
5. Menyerah sementara.
6. Istirahat atau Santai.
7. Menulis.
8. Bertukar pikiran.
9. Bebas dari kebingungan atau kekacauan.
10. Batas waktu.
Dikutip dari Khana Fitri, Kompasiana.
Sumber http://pengusahasupersuksesid.blogspot.com/

Zainal Muttaqin

Foto ini diambil oleh fotografer Malaysia, Bapak Hamidi Hamid.



Apa itu Bid'ah?

Hadits-Hadits Tentang Bid’ah


Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah’”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)
Hadits 8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Hadits 9
Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:
يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )
Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)
Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.
Hadits 10
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ
Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)
Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.
Hadits 11
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)
Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.
Wallahu’alam.

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

PERINGATAN MAULID NABI DALAM TIMBANGAN ISLAM

Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena pada bulan itulah, tepatnya pada hari senin tanggal 12, junjungan kita nabi besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum muslimin pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah (kecintaan) kepada beliau , dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari raya Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Lalu sejak kapankah peringatan ini diadakan?

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)

Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali (bin Abi Thalib), maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126)

Hukum Memperingati Maulid Nabi
Hari kelahiran Nabi mempunyai keutamaan di sisi Allah . Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun gajah. Peristiwa ini (yakni dihancurkannya tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah ketika hendak menyerang Ka’bah) adalah sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya dan Baitullah Ka’bah.” (Zaadul Ma’ad: 1/74)

Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut lantas disyari’atkan untuk memperingatinya? Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tolok ukur suatu kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dari kalangan sahabat Nabi . Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya): “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (yakni Al Qur’an) dan Rasul-Nya (yakni As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (An Nisaa’: 59)

Subhanallah!, ketika kita kembali kepada Al Qur’an ternyata tidak ada satu ayat pun yang memerintahkannya, demikian pula di dalam As Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada sesuatu pun dari agama ini yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلىَ خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang diketahuinya.” (HR. Muslim)

Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi radhiallahu anhum, apakah mereka memperingati hari kelahiran seorang yang paling mereka cintai ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Merayakan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat) radhiallahu anhum, meski ada peluang dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu kebaikan atau lebih besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf radhiallahu anhum orang yang lebih berhak merayakannya daripada kita. Karena kecintaan dan pengagungan mereka kepada Rasul lebih besar dari yang kita miliki, demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih besar daripada kita. (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)

Bagaimana dengan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), apakah mereka merayakan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabnya adalah bahwa mereka sama sekali tidak pernah merayakannya.

Dan bila kita renungkan lebih dalam, ternyata peringatan Maulid Nabi ini merupakan bentuk tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang Nashrani. Karena mereka biasa merayakan hari kelahiran Nabi Isa Alaihissalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (H.R Ahmad)

Para pembaca yang budiman, mungkinkah suatu amalan yang tidak ada perintahnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak pernah pula dilakukan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil rekayasa para raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan juga mengandung unsur penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani, tergolong sebagai amal ibadah dalam agama ini? Tentu seorang yang kritis dan berakal sehat akan mengatakan: ‘tidak mungkin’, bahkan tergolong sebagai amalan bid’ah yang sangat berbahaya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka amalannya akan tertolak.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat Nabi), maka Aku akan palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami masukkan mereka ke dalam Jahannam.” (An Nisaa’: 115)

Bagaimanakah, bila pada sebagian acara yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan oleh senandung syirik ala Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya :

“Duhai dzat yang paling mulia (Nabi Muhammad), tiada tempat berlindung bagiku dari hempasan musibah nan menggurita selain engkau.

Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang binasa.

Karena sungguh diantara bukti kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat, dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuzh dan pena pencatat takdir (ilmu tentang segala kejadian).”

Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau (artinya): “Janganlah kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Al Bukhari). Demikian pula Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman (artinya): “Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, serta tidak (pula) aku mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat.” (Al An’am: 50)

Serba – Serbi
Para pembaca, ketahuilah bahwa semata-mata niat baik bukanlah timbangan segala-galanya. Lihatlah bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu terhadap sekelompok muslimin yang duduk di masjid dalam keadaan membaca takbir, tahlil, tasbih, dan berdzikir dengan cara yang belum pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “…celakalah kalian hai umat Nabi Muhammad ! Alangkah cepatnya kehancuran menimpa kalian! Padahal para sahabat Nabi masih banyak yang hidup, pakaian beliau pun belum usang, dan bejana-bejana beliau pun belum hancur. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian merasa di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad atau kalian justru sebagai pembuka pintu-pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdirrahman (yakni ‘kunyah’ dari Abdullah bin Mas’ud), tidaklah yang kami inginkan (niatkan) kecuali kebaikan semata? Beliau menjawab: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi 1/68-69).

Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baiknya suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at.” (Al Muhalla fi Jam’il Jawaami’ 2/395)

Demikian pula semata-mata mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa meniti jalannya dan jalan orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya yakni para sahabat, adalah kecintaan yang palsu. Dengan tegas Allah berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.” (Ali Imran: 31)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap Rasul terletak pada (kuatnya) ittiba’ (mengikuti jejaknya), ketaatan kepadanya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir maupun batin, dan menyebarkannya serta berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan dan lisan.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)

Para pembaca, mungkin dalam hati kecil ada yang bergumam: “Tidakkah peringatan maulid Nabi ini termasuk bid’ah hasanah?”

Kita katakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena sungguh semua yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)

Beranikah seorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi sabda beliau? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan setiap bid’ah itu adalah sesat, lalu ia menyatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah (baik)?!! Sungguh ironis seorang yang katanya cinta kepada Rasul sehingga sangat berkepentingan untuk memperingati hari kelahirannya, namun dalam mewujudkannya harus menentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah itu hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Tentu jawabannya ‘Tidak’, karena hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan ketaatan yang sempurna kepada keduanya, sebagaimana yang dikandung oleh firman Allah dalam Q.S Ali Imran:31.

Cukuplah sebagai bukti kesesatannya dan bukan hasanah, ketika Rasulullah , para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka (termasuk imam yang empat), tidak melakukannya dan tidak pernah membimbing umat untuk mengerjakannya. Kalaulah ia hasanah, pasti mereka telah merayakannya dan menyumbangkan segala apa yang mereka punya untuk acara tersebut, namun ternyata mereka tidak melakukannya. Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhumaa berkata: “Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya hasanah (baik). (Al Ushul I’tiqad Al Lika’i: 1/109)

Al Imam Malik rahimahullah berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa nabi Muhammad telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”. Atas dasar ini, segala perkara yang pada waktu itu (yakni di masa nabi/para sahabat) bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pula perkara itu bukan termasuk agama.” (Al I’tisham: 1/49)

Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya. Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar!, karena sungguh ironis seorang yang mengaku cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk kedalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau , yang ini pun sesungguhnya sudah masuk kedalam lingkup tasyabbuh dengan orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah sendiri. Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi , namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?!

Para pembaca, demikianlah apa yang bisa kami sajikan, semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran. Amiin, yaa Mujiibas Saailiin.

Sumber : http://www.buletin-alilmu.com

———-
Artikel lainnya :
1. Fatwa Ulama Besar Seputar Maulid
2. HUKUM MEMPERINGATI Maulid Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam
3. Perayaan Maulid Rasulullah dalam sorotan Islam
4. Bulan Penuh Telur
5. Apakah Kita Merayakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?
6. Perayaan Maulid yang Anda Ketahui
7. Perayaan Maulid Nabi dalam Sorotan
8. KERUSAKAN-KERUSAKAN MAULID


Artikel Terkait:
1.“Cintailah Dia -Shallallahu alaihi wa sallam- Dengan Cara Yang Dia cintai!”
2. Bisanya Cuman Nyontek

SMS ONLINE GRATIS

Hukum Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi

Memperingati atau merayakan maulid Nabi Muhammad s.a.w sudah menjadi tradisi yang mengakar di kalangan umat Islam Indonesia. Hari kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada 12 Rabiul Awal ini bahkan sudah menjadi salah satu hari besar dan hari libur nasional. Hukum merayakan maulid Nabi dipertanyakan halal haramnya setelah munculnya kelompok neo Khawarij yang bernama Wahabi yang mengharamkan peringatan maulid Nabi dan menganggapnya sebagai bid'ah dhalalah (sesat).

DAFTAR ISI
  1. Sejarah Peringatan Maulid Nabi
  2. Hukum Maulid Nabi menurut Ulama Ahlus-Sunnah (Non-Wahabi)
    1. Fatwa Jalaluddin As-Suyuthi Tentang Peringatan Maulid Nabi
    2. Fatwa Abul Khattab Al Dihyah Tentang Perayaan Maulid Nabi
    3. Fatwa Yusuf Qardhawi Tentang Perayaan Maulid Nabi
    4. Fatwa Said Ramadan Al-Buthi Tentang Perayaan Maulid Nabi
    5. Fatwa Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Tentang Perayaan Maulid Nabi
  3. Hukum Maulid Nabi menurut Ulama Wahabi Salafi
  4. Kesimpulan Hukum Maulid

I. SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI

Ada berbagai macam versi mengenai waktu awal mula diadakannya peringatan atau perayaan Maulid Nabi. Jalaluddin As-Suyuthi (1445 - 1505M atau 849 - 911 H)[1] menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Malik Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi (1153 - 1232 M atau 549 - 630 H).[2]

Sebagian pendapat mengatakan bahwa Shalahuddin Al Ayyubi (1138 - 1193 M), yang pertama kali melakukan peringatan Maulid Nabi secara resmi. Sementara versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fathimiyah di Mesir pada akhir abad keempat Hijriyah atau abad keduabelas masehi.[3]

Kegiatan perayaan (ihtifal) maulid Nabi ini kemudian menyebar ke berbagai negara Islam termasuk Indonesia.

II. HUKUM MAULID NABI MENURUT ULAMA AHLUS-SUNNAH (NON-WAHABI)

Mayoritas ulama membolehkan peringatan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad selagi tidak ada perbuatan yang melanggar syariat saat peringatan tersebut. Jalaluddin As Suyuthi berpendapat bahwa sunnah itu dapat terjadi dengan qiyas (analogi) tidak harus berdasarkan adanya dalil Quran dan hadits.


FATWA JALALUDDIN AS SUYUTHI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

1. Jalaluddin As-Suyuthi berpendapat bahwa memperingati maulid Nabi Muhammad adalah bid'ah hasanah (baik). As-Suyuthi mengatakan:

وبعــــد: فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول، ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل يثاب فاعله أو لا؟.

الجـــــواب:

عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف.

Arti kesimpulan: Perayaan Maulid Nabi yang berupa berkumpulnya manusia dengan membaca ayat Quran dan sejarah Nabi dan memakan hidangan makanan termasuk dari bid'ah yang baik (hasanah) yang mendapat pahala karena bertujuan mengagungkan Nabi Muhammad dan menampakkan kegembiraan terhadap kelahiran Nabi.

Alasan As-Suyuthi menganggap sunnah merayakan maulid Nabi karena hukum sunnah itu tidak harus terjadi pada era Nabi, tapi bisa karena qiyas.[4]

Istilah bid'ah hasanah (baik) dan qabihah (buruk) yang dipakai As-Suyuthi berasal dari Imam Nawawi dalam kitab تهذيب الأسماء واللغات Tahdzibul Asma' wal Lughat.


FATWA ABUL KHATTAB AL DIHYAH TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

2. Abul Khattab bin Dihyah pada tahun 604 H menulis kitab At Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadzir (التنوير في مولد البشير النذير) khusus membahas tentang bolehnya Maulid Nabi. Bin Dihyah adalah ulama ahli hadits yang bergelar Al Hafidz asal Maroko yang terkenal pada zamannya.[5]

3. Ismail bin Umar bin Katsir, penulis tafsir Al Quran Ibnu Katsir yang terkenal termasuk yang membolehkan perayaan Maulid Nabi Muhammad.[6]

4. Syed Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasnai dalam kitabnya Hawlal Ihtifal bi Dzikral Maulid an-Nabawi [7]


FATWA YUSUF QARDHAWI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

- Yusuf Qardhawi menganggap perayaan Maulid Nabi Muhammad adalah baik. Qardhawi menyatakan:
فهناك لون من الاحتفال يمكن أن نقره ونعتبره نافعاً للمسلمين، ونحن نعلم أن الصحابة رضوان الله عليهم لم يكونوا يحتفلون بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم ولا بالهجرة النبوية ولا بغزوة بدر، لماذا؟

لأن هذه الأشياء عاشوها بالفعل، وكانوا يحيون مع الرسول صلى الله عليه وسلم، كان الرسول صلى الله عليه وسلم حياً في ضمائرهم، لم يغب عن وعيهم، كان سعد بن أبي وقاص يقول: كنا نروي أبناءنا مغازي رسول الله صلى الله عليه وسلم كما نحفِّظهم السورة من القرآن، بأن يحكوا للأولاد ماذا حدث في غزوة بدر وفي غزوة أحد، وفي غزوة الخندق وفي غزوة خيبر، فكانوا يحكون لهم ماذا حدث في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، فلم يكونوا إذن في حاجة إلى تذكّر هذه الأشياء.

ثم جاء عصر نسي الناس هذه الأحداث وأصبحت غائبة عن وعيهم، وغائبة عن عقولهم وضمائرهم، فاحتاج الناس إلى إحياء هذه المعاني التي ماتت والتذكير بهذه المآثر التي نُسيت، صحيح اتُخِذت بعض البدع في هذه الأشياء ولكنني أقول إننا نحتفل بأن نذكر الناس بحقائق السيرة النبوية وحقائق الرسالة المحمدية، فعندما أحتفل بمولد الرسول فأنا أحتفل بمولد الرسالة، فأنا أذكِّر الناس برسالة رسول الله وبسيرة رسول الله

وفي هذه المناسبة أذكِّر الناس بهذا الحدث العظيم وبما يُستفاد به من دروس، لأربط الناس بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا) [الأحزاب 21] لنضحي كما ضحى الصحابة، كما ضحى علِيّ حينما وضع نفسه موضع النبي صلى الله عليه وسلم، كما ضحت أسماء وهي تصعد إلى جبل ثور، هذا الجبل الشاق كل يوم، لنخطط كما خطط النبي للهجرة، لنتوكل على الله كما توكل على الله حينما قال له أبو بكر: والله يا رسول الله لو نظر أحدهم تحت قدميه لرآنا، فقال: "يا أبا بكر ما ظنك في اثنين الله ثالثهما، لا تحزن إن الله معنا".

نحن في حاجة إلى هذه الدروس فهذا النوع من الاحتفال تذكير الناس بهذه المعاني، أعتقد أن وراءه ثمرة إيجابية هي ربط المسلمين بالإسلام وربطهم بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم ليأخذوا منه الأسوة والقدوة، أما الأشياء التي تخرج عن هذا فليست من الاحتفال؛ ولا نقر أحدًا عليها.
Artinya: Ada salah satu jenis perayaan/peringatan yang dapat kita anggap bermanfaat bagi umat Islam. Kita tahu bahwa para Sahabat tidak merayakan Maulid Nabi Muhammad, hijrah Nabi dan Perang Badar, kenapa?

Karena kejadian-kejadian di atas mereka lakukan dalam kehiudpan nyata. Mereka hidup bersama Nabi. Dan Nabi hidup dalam hati mereka. Tidak hilang dari kesadaran mereka. Sa'ad bin Abi Waqqas berkata: Kami mengisahkan pada anak-anak kami kisah-kisah peperangan Nabi sebagaimana kami menghafal Surah dari Al-Qur'an dengan bercerita pada anak-anak apa yang terjadi dalam Perang Badar dan Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Khaibar. Mereka bercerita pada anak-anak mereka apa yang terjadi pada masa hidup Nabi sehingga mereka tidak perlu memperingati perayaan-perayaan semacam ini.

Kemudian datanglah masa di mana manusia melupakan berbagai peristiwa di atas dan hilang dari kesadaran, jiwa dan hati mereka. Maka manusia perlu untuk menghidupkan kembali pemahaman yang telah mati dan mengingat peristiwa yang sudah terlupakan. Betul, terdapat hal-hal bid'ah dalam perkara ini tapi saya berpendapat bahwa kita merayakannya untuk mengingatkan manusia atas hakikat perjalanan kenabian dan risalahnya. Saat kita memperingati Maulid Nabi maka saya memperingati kelahiran terutusnya Nabi; maka saya mengingatkan manusia atas diutusnya Rasulullah dan kisah kenabian beliau.

... Kita saat ini sangat perlu untuk mempelajari (kisah Nabi) ini. Perayaan semacam ini bertujuan untuk mengingatkan manusia akan makna-makna di atas. Saya yakin bahwa di balik beberapa peringatan ini terdapat hasil yang positif yaitu mengikat umat dengan Islam dan mengikat mereka dengan sejarah Nabi untuk dimabil suri tauladan dan panutan. Adapun hal-hal yang keluar dari ini, maka itu bukanlah perayaan dan kami tidak mengakuinya.
(Sumber: http://qaradawi.net/fatawaahkam/30/1444.html).


FATWA SAID RAMADAN AL-BUTHI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

Said Ramadhan Al-Buthi menilai bahwa Maulid Nabi bukan bid'ah walaupun ia baru eksis setelah era Tabi'in atau Tabi'it Tabi'i. Ia berpendapat tidak semua yang baru itu bid'ah. Dalam salah satu fatwanya ia menyatakan:
ليس كل جديد بدعة
البدعة، بمعناها الاصطلاحي الشرعي، ضلالة يجب الابتعاد عنها، وينبغي التحذير من الوقوع فيها. ما في ذلك ريب ولا خلاف. وأصل ذلك قول رسول الله صلى الله علية وسلم فيما اتفق علية الشيخان (من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهورد) وقوله فيما رواه مسلم : (إن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة).

ولكن ما هو المعنى المراد من كلمة (بدعة) هذه ؟
هل المراد بها معناها اللغوي الذي تعارف علية الناس فيكون المقصود بها إذن، كل جديد طارئ على حياة المسلم، مما لم يفعله رسول الله صلى الله علية وسلم ولا أحد من أصحابه، ولم يكن معروفا لديهم؟
إن الحياة ما تزال تتحول بأصحابها من حال ألي حال، وتنقلهم من طور إلى آخر..

Artinya: Ditinjau dari pengertian istilah yang syar'i tidak semua yang baru itu bid'ah dhalalah (sesat) yang wajib dijauhi. Tidak ada keraguan dan perbedaan dalam soal ini. Asal dari masalah bid'ah ini adalah sabda Nabi riwayat Bukhari dan Muslim: Barangsiapa yang mengada-ada di dalam urusan agama ini dengan sesuatu yang tidak berasal darinya, maka tertolak." Dan sabda Nabi dalam sebuah hadits riwayat Muslim: "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang dibuat-buat, dan setiap yang bidah itu adalah kesesatan."

Akan tetapi apa yang dimaksud dengan kata "bid'ah" di sini? Apakah yang dimaksud dengan bid'ah secara lughawi (literal) yang umum diketahui manusia sehingga yang dimaksud adalah setiap hal yang baru pada kehidupan muslim yang tidak dilakukan Rasulullah dan para Sahabat tidak ada yang tahu? Sesungguhnya kehidupan senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan berpindah dari masa ke masa yang lain ...

Lebih detail baca: الاحتفال بالمولد النبوي


FATWA SAYYID MUHAMMAD ALWI AL-MALIKI TENTANG PERAYAAN MAULID NABI

Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, ulama terkenal Mekkah yang bukan Wahabi menulis buku khusus tentang bolehnya merayakan
Maulid Nabi Muhammad. Kitabnya berjudul Haulal Ihtifal bi Dzikrol Maulidin Nabawi as-Syarif. Berikut salah satu isinya:
أننا نقول بجواز الاحتفال بالمولد النبوي الشريف والاجتماع لسماع سيرته والصلاة والسلام عليه وسماع المدائح التي تُقال في حقه ، وإطعام الطعام وإدخال السرور على قلوب الأمة

Artinya: Saya berpendapat atas bolehnya merayakan maulid Nabi dan berkumpul untuk mendengar sejarah Nabi, membaca shalawat dan salam untuk Nabi, mendengarkan puji-pujian yang diucapan untuk beliau, memberi makan (pada yang hadir) dan menyenangkan hati umat.

Lebih detail baca: حول الاحتفال بذكرى المولد النبوي للسيد محمد علوي المالكي

- Habib Mundzir Al Musawa dalam bukunya Kenalilah Aqidahmu membuat daftar panjang kalangan ulama dulu dan kontemporer (muta'akhirin) dan kitabnya yang menghalalkan perayaan Maulid Nabi Muhammad sebagai berikut:

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi)
Syamsuddin Aljazriy dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif
Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy
Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
Ibn Abidin rahimahullah dalam syarahnya maulid ibn hajar
Ibnul Jauzi dengan karangan maulidnya yg terkenal al aruus
Al Qasthalaniy dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah
Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya Urfu at ta’rif bi maulid assyarif.
Al ’Iraqy dg maulidnya Maurid al hana fi maulid assana
Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya Itmam anni’mah alal alam bi maulid sayidi waladu adam
Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar
Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg Maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
Muhammad Al maghribi dg Maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.


III. HUKUM MAULID NABI MENURUT ULAMA WAHABI SALAFI

Adapun pendapat ulama Wahabi Salafi hampir seragam: merayakan maulid Nabi adalah bid'ah dhalalah. Dan haram.

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan:

لا يجوز الاحتفال بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم ، ولا غيره ؛ لأن ذلك من البدع المحدثة في الدين ؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعله ، ولا خلفاؤه الراشدون ، ولا غيرهم من الصحابة ـ رضوان الله على الجميع ـ ولا التابعون لهم بإحسان في القرون المفضلة ، وهم أعلم الناس بالسنة ، وأكمل حباً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ومتابعة لشرعه ممن بعدهم .
Artinya: Tidak boleh merayakan maulid (kelahiran) Nabi dan lainnya karena termasuk bid'ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi, khalifah yang empat, dan Sahabat lain dan tabi'in. Padahal mereka yang lebih tahu tentang sunnah dan lebih sempurna kecintaannya pada Rasul dan lebih mengikuti syariahnya daripada generasi setelahnya.[8]

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:

فالاحتفال به يعتبر من البدعة وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : " كل بدعة ضلالة " قال هذه الكلمة العامة ، وهو صلى الله عليه وسلم أعلم الناس بما يقول ، وأفصح الناس بما ينطق ، وأنصح الناس فيما يرشد إليه ، وهذا الأمر لا شك فيه ، لل يستثن النبي صلى الله عليه وسلم من البدع شيئاً لا يكون ضلالة ، ومعلوم أن الضلالة خلاف الهدى ، ولهذا روى النسائي آخر الحديث : " وكل ضلالة في النار " ولو كان الاحتفال بمولده صلى الله عليه وسلم من الأمور المحبوبة إلى الله ورسوله لكانت مشروعة ، ولو كانت مشروعة لكانت محفوظة ، لأن الله تعالى تكفل بحفظ شريعته ، ولو كانت محفوظة ما تركها الخلفاء الراشدون والصحابة والتابعون لهم بإحسان وتابعوهم ، فلما لم يفعلوا شيئاً من ذل علم أنه ليس من دين الله
Arti kesimpulan: Memperingati maulid Nabi itu bid'ah dhalalah (sesat).[9]


IV. KESIMPULAN HUKUM MAULID

Peringatan atau perayaan maulid Nabi adalah bi'dah karena tidak dilakukan pada zaman Nabi. Akan tetapi termasuk daripada bid'ah hasanah (hal baru yang baik) selagi apa yang dilakukan dalam peringatan maulid itu tidak bertentangan dengan spirit Al Quran, Sunnah, atsar Sahabat dan ijma' ulama.

Pandangan Wahabi bahwa segala sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Nabi dianggap bi'dah sesat (dhalalah) adalah pandangan yang sempit. Karena para Sahabat banyak melakukan bid'ah. Seperti Abu Bakar dengan pengumpulan catatan Al Quran, Umar bin Khattab dengan tarawih dan Utsman bin Affan dengan pembukuan Al Quran yang dikenal dengan mushaf Utsmani.

====================
[1] Jalaluddin As-Suyuthi, Husnul Maqsad fi Amalil Maulid (حسن المقصد في عمل المولد)
[2] Mudhoffar adalah penguasa kawasan Irbil pada masa Shalahuddin Al Ayyubi. Nama lengkapnya Mudhofaruddin Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Baktakin bin Muhammad (مظفر الدين أبو سعيد كوكبري بن زين الدين علي بن بكتكين بن محمد)
[3] Dr. Sulaiman bin Salim As Suhaimi dalam Al A’yad wa Atsaruha alal Muslimin
[4] Jalaluddin As-Suyuthi, ibid. Link: almoslem.net/modules.php?name=News&file=article&sid=27
[5] Ibid
[6] ibid
[7] Termasuk ulama muta'akhirin yang berani merayakan Maulid Nabi di Arab Saudi kendati dilarang oleh ulama Wahabi. Kitabnya dapat dibaca di sini: حول الاحتفال بذكرى المولد النبوي للسيد محمد علوي المالكي
[8] Lihat http://www.khayma.com/kshf/B/Moled.htm
[9] فتاوى الشيخ محمد الصالح العثيمين " إعداد وترتيب أشرف عبد المقصود

HUKUM MAULID NABI MENURUT ULAMA WAHABI SALAFI

Pendapat ulama Wahabi Salafi hampir seragam: merayakan maulid Nabi adalah bid'ah dhalalah. Dan haram.

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan:

لا يجوز الاحتفال بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم ، ولا غيره ؛ لأن ذلك من البدع المحدثة في الدين ؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعله ، ولا خلفاؤه الراشدون ، ولا غيرهم من الصحابة ـ رضوان الله على الجميع ـ ولا التابعون لهم بإحسان في القرون المفضلة ، وهم أعلم الناس بالسنة ، وأكمل حباً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ومتابعة لشرعه ممن بعدهم .
Artinya: Tidak boleh merayakan maulid (kelahiran) Nabi dan lainnya karena termasuk bid'ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi, khalifah yang empat, dan Sahabat lain dan tabi'in. Padahal mereka yang lebih tahu tentang sunnah dan lebih sempurna kecintaannya pada Rasul dan lebih mengikuti syariahnya daripada generasi setelahnya.[8]

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:

فالاحتفال به يعتبر من البدعة وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : " كل بدعة ضلالة " قال هذه الكلمة العامة ، وهو صلى الله عليه وسلم أعلم الناس بما يقول ، وأفصح الناس بما ينطق ، وأنصح الناس فيما يرشد إليه ، وهذا الأمر لا شك فيه ، لل يستثن النبي صلى الله عليه وسلم من البدع شيئاً لا يكون ضلالة ، ومعلوم أن الضلالة خلاف الهدى ، ولهذا روى النسائي آخر الحديث : " وكل ضلالة في النار " ولو كان الاحتفال بمولده صلى الله عليه وسلم من الأمور المحبوبة إلى الله ورسوله لكانت مشروعة ، ولو كانت مشروعة لكانت محفوظة ، لأن الله تعالى تكفل بحفظ شريعته ، ولو كانت محفوظة ما تركها الخلفاء الراشدون والصحابة والتابعون لهم بإحسان وتابعوهم ، فلما لم يفعلوا شيئاً من ذل علم أنه ليس من دين الله
Arti kesimpulan: Memperingati maulid Nabi itu bid'ah dhalalah (sesat).[9]

Tetapi alangkah bijaknya jika kita tidak memvonis sesuatu dari satu arah saja, maka dari itu kami harap pembaca juga membaca karya ilmiyah berikut ini! Peringatan Maulid Nabi

PERINGATAN MAULID NABI (Lengkap Dengan Bantahan Terhadap Kaum Wahabi Yang Mengharamkannya)

PERINGATAN MAULID NABI

Sejarah Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut  raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.
Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan  menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.

Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits  telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.


Hukum Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.


Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi

 1.  Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam. Rasulullah bersabda:

مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بَعْدَهُ  مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ  
 (رواه مسلم في صحيحه)  
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).

Faedah Hadits:

Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti  telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.

2.  Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah. Silahkan buka di link ini http://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/supaya-jangan-sembarangan-mengklaim-ahli-bidah-kepada-orang-lain-hakekat-bidah-l/112546762095575

3.  Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:

أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
 “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.

Faedah Hadits:

Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.

Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.

4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:

ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
 “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”.  (HR Muslim)

Faedah Hadits:

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.

Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.


Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah

 1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:

لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”.
Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya”[1].

Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:

إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.

Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.

Jawab:
Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.


Pembacaan Buku-Buku Maulid

Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah. Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai berikut:

وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.
“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam karangan-karangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud, mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.


Kerancuan Faham Kalangan Anti Maulid

1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”. 

Jawab:   

Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah  dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.  (QS. al-Hasyr: 7)

Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)

Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas.

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:

مَنْ  سَنَّ  فيِ  اْلإِسْـلاَمِ  سُنَّةً  حَسَنـَةً  فَلَهُ  أَجْرُهَا وَأَجْرُ  مَنْ  عَمِلَ  بِهَا بَعْدَهُ  مِنْ  غَيْرِ  أَنْ يَنْقُصَ مِنْ  أُجُوْرِهِمْ  شَىْءٌ 
(رواه الإمام مسلم في صحيحه)  
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
  (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ   (رواه مسلم
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.
Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.

Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?

2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata:Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”. 

Jawab:

Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً

“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.

3.   Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”. 

Jawab:

Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.

4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”. 

Jawab:

Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan. Target mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu.

Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?!

Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah. Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinisme” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada.

Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal.

Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Amin.


[1] al-Ajwibah al-Mardliyyah, j. 3, h. 1116-1120


Gembok Makam Rasulullah bertuliskan Tawassul dengan Rasulullah
Gembok Makam Rasulullah bertuliskan Tawassul dengan Rasulullah
 
Sumber > Klik